Seiring waktu, Diumurnya yang hampir masuk 25 tahun, langkah kehidupan
Aldo perlahan berubah, hari hari yang ia lalui terasa amat pahit. Dulu
hidupnya serba ada, mau apa tinggal beli, kepingin ini itu tinggal minta
uang sama ibunya. Maklum saja, Aldo anak semata wayang. Sekarang, roda
kehidupannya berubah drastis, terbalik diputar tingkah laku ayahnya yang
melakukan sabotase proyek.
Dulunya, ayah Aldo adalah seorang yang sangat tegas. Dengan memegang
prinsip islami, hidup mereka dipenuhi suasana agamis. Tetapi semenjak
perusahaan milik ayahnya dipercayakan menangani proyek besar tahun itu.
Iman ayahnya mulai goyah. Ayah Aldo sering kali menyabotase urusan
proyek demi meraup keuntungan lebih. Dan naas, akhirnya ketahuan.
Semenjak ayah Aldo di penjara, perusahaan mereka pun ikut bangkrut.
Ironisnya Aldo tidak pernah sekali pun menjenguk ayahnya dipenjara. Aldo
belum bisa menerima kenyataan. Semua cerita kejadian ini ia dengar dari
ibunya, karena dari kecil, ia tidak mau tahu dari mana datangnya semua
kemewahan itu. Dan yang ia dengar dari ibunya, ayahnya dihukum enam
bulan penjara. Semenjak itulah Aldo yang menjadi tulang punggung
keluarga.
Singkat cerita, Mulai saat itu, Aldo dan ibunya saling bahu membahu
dalam memenuhi kebutuhan hidup. sebab, harta mereka semuanya ludes
disita dan mereka terpaksa pindah kerumah sewa yang kecil dan sangat
sederhana. Aldo bekerja semrautan. Ibunya terpaksa bekerja jadi pembantu
dirumah teman ayahnya. Dan demi membiayai skripsi kuliahnya. Aldo
terpaksa harus bekerja tambahan di kafe temannya.
Hari demi hari pun berlalu, kuliahnya pun telah selesai. Dan Sifat manja Aldo pun perlahan mulai berubah.
Suatu ketika, Saat itu Aldo baru pulang kerja dari kafe. Ia lihat jam
ditangannya, sudah jam sepuluh malam, “ibu kok belum pulang ya.” suara
batinnya.
Tiba-tiba. “Tok.tok..tok..“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam..” jawab Aldo.
Ia lihat, ternyata ibunya. Ibunya pun tersenyum, tapi senyum manis
ibunya itu, tidak bisa menghilangkan guratan kelelahan yang tampak di
wajahnya.
“Bu.. Aldo mau ngomong, tapi biar Aldo buatkan teh hangat dulu ya..
“Mau bicarakan apa Do, kok kayaknya penting banget..” jawab ibunya santai.
“Bigini bu, Aldo kan sudah lulus kuliah. Rencananya besok Aldo mau cari
kerja tambahan. Agar ibu tidak usah lagi bekerja jadi pembantu. Biar
Aldo saja yang kerja. ibu istirahat aja dirumah ya..” jelas ku pada ibu.
Ia tatap wajah ibunya. Ada guratan haru yang tampak dari kedua mata ibunya yang berkaca-kaca.
“Alhamdulillah… ternyata anak ibu sudah berubah. Tapi Aldo mau kerja apa.?
“Terserahlah bu.. apa yang diberikan Allah nantinya. Yang penting kita
usaha dulu.. Soalnya, Aldo tidak tahan melihat ibu pagi-pagi buta sudah
pergi dan malamnya baru pulang.. jawabnya.
Ia lihat mata ibunya. Ternyata air mata ibunya tak terbendung lagi. Tiba-tiba ibunya memeluk Aldo..
“Do… kalau ayahmu tahu, ia pasti bangga denganmu..”
“Sudahlah bu… Aldo kan udah besar. Biar Aldo yang gantikan tugas ayah.”
Ibunya menatap dalam wajah anaknya itu. Tangannya yang lembut memegang kedua pipi Aldo dengan hanyut terbawa haru.
Keesokan harinya. Dia berangkat dengan restu ibunya. Ia langkahkan kedua
kakinya dengan semangat. Saat jumpa suatu perusahaan. Ia langsung
masuki dan mencoba melamar kerja. Tapi gayung belum bersambut. Ia
ditolak. Dan begitu juga selanjutnya. Ia terus mencoba tapi tetap dengan
jawaban yang sama.
Tak terasa, hari pun berganti semakin terik. Keringat ditubuhnya
hampir-hampir membasahi pakaiannya. Saat ia duduk dihalte bis untuk
istirahat sejenak, terdengar dari kejauhan suara azan zhuhur
berkumandang ditengah hiruk pikuk kota.
Akhirnya ia putuskan untuk menghadap sang ilahi dahulu sebelum
melanjutkan usahanya lagi. Usai sholat, ia bersimpuh dan bermunajat
kepada sang Ilahi. Lalu ia kembali menyusuri satu persatu perusahaan
yang ada. Tapi tetap dengan jawaban yang sama pula yakni tidak menerima
lowongan.
“Rasanya sudah dua belas perusahaan yang aku masuki, tapi tak ada satu
pun yang menerima lowongan. “Ya. Rabb.. Bantu aku ya rabb…” rintih
batinnya.
Saat melintasi gedung bertingkat yang lebih dari sepuluh lantai. Ia
melihat tulisan “Kencana Group” Sebenarnya ia sudah hampir menyerah, dan
berniat hendak pulang kerumah. Tetapi batinnya menolak. Dan akhirnya ia
putuskan untuk mencoba memasuki gedung itu dan melamar.
“Permisi Mbak… mau nanya, ruang personalianya dimana ya… tanya Aldo kepada gadis yang sibuk bersih-bersihkan kaca gedung itu.
Saat gadis itu membalikkan tubuhnya dan menatap kepada Aldo. Tiba-tiba
hati Aldo bergetar dan matanya pun tak berkedip memandangnya. “Sungguh
mempesona..” Desah batinnya.
“Oh maaf.. mas masuk aja… Ntar tanya aja ke resepsionisnya.. Maaf ya mas, saya lagi sibuk.
“Oh tak apa.. makasih ya..” jawabnya dengan hati berbunga. “Sungguh halus budinya.” Desah batinnya lagi.
Sambil masih menatap gadis itu. Aldo pun masuk. Sesampainya di
resepsionis. ia kembali teringat dengan gadis yang didepan tadi. Jiwanya
hanyut dibawa aroma pandangan pertama.
“Maaf mas, ada yang bisa kami bantu.” tanya petugas membuyarkan lamunannya.
“Oh Maaf pak.. begini pak, saya mau ngajukan lamaran kerja pak.. apakah
masih ada lowongan pak.. tanyanya sambil menyodorkan map yang ia
pegang.”
“Oh maaf mas… disini lagi tidak menerima lowongan. Maaf mas ya…”
“Tapi pak… kerja apa saja saya mau kok pak..”
“Iya mas… tapi disini semuanya lagi penuh.. maaf ya mas..”
“Iyalah... terima kasih pak.. permisi..” jawabnya kecewa.
Hatinya kembali hancur.. dadanya pun sudah berulang kali sesak menahan
sabar satu hari itu. rasanya ia ingin pulang saja, ingin rasanya ia
curhat pada ibunya. saat ia hendak melangkahkan kaki keluar. Tiba-tiba
ada suara yang memanggilnya.
“Mas..mas..” Rupanya bapak yang tadi. Bapak itu mengatakan aku bisa
bekerja di perusahaan itu. tapi hanya bisa menjadi petugas cleaning
servis. Karena ada satu orang petugas cleaning servis yang mengundurkan
diri hari itu, katanya.
“Bagaimana mas… mau..?” tanya bapak itu.
“Iyalah.. saya mau.. yang penting halal pak..”
Aku pun bergegas pulang. Aku langsung cerita pada ibu. Saat kubilang jadi cleaning servis, mata ibu agak berkaca-kaca.
Tiba-tiba ibunya bertanya. Dan ada guratan kegelisahan yang tampak dari wajah ibunya itu.
“Dimana Aldo akan kerja nak…?
“Di perusahaan Kencana Group bu..” Jawabnya.
“Kencana Group…? ucap ibunya heran.
“Iya bu.. yang dijalan Yos Sudarso itu bu..
Sepertinya ada hal yang dirahasiakan ibunya. wajah ibunya langsung terlihat bingung. Sikap ibunya pun agak salah tingkah.
“Kenapa bu..” tanya Aldo.
“Oh.. tak apa Do.. tak ada apa-apa kok.” Baguslah.. Jawab ibunya terbata-bata..
Singkat cerita, Aldo pun bekerja menjadi cleaning servis. Ia lalui hari
demi hari dengan sangat sibuk. Dari pagi hingga sore ia kerja jadi
cleaning servis dan bila badannya fit, malamnya ia kerja dikafe temannya
untuk cari tambahan.
Ditempat kerja, akhirnya ia bisa kenalan dengan gadis yang memikat
hatinya saat melamar dulu. Karena satu profesi, ia pun saling dekat dan
mengenal akrab dengannya. Nama gadis itu Dina. Lama kelamaan, rasa cinta
dihatinya semakin tumbuh bersemi, tetapi rasa itu ia pendam dulu untuk
sementara. Karena ia rasa, ia belum mampu untuk berhubungan dengan
wanita dengan kondisi pekerjaan seperti itu.
Suatu ketika, saat sedang asyik mengepel keramik di depan resepsionis,
ia dikejutkan dengan kehadiran sosok wanita setengah baya. Yang baru
masuk dari pintu kaca kantor.
Ia melihat ibunya, tapi ia heran dengan dandanan ibunya. Ibunya terlihat
rapi. Sama seperti gaya ibunya saat hidup mereka jaya dulu. Wajah
ibunya pun semakin terlihat cantik dengan gaun seperti itu. Ia bingung,
ada hal apa ibunya datang ketempat kerjanya dengan dandanan seperti itu.
Saat berpapasan wajah. Ibunya berhenti dan terlihat gugup. Tapi
tingkahnya tetap tenang. Kami berdua berdiri agak lama dan saling
menatap.
“Ibu…?” Ibu kan..” sapanya heran.
Tiba-tiba pengawas kantor datang memarahinya dan menyuruh Aldo tidak
berlaku lancang. Dan memerintahkan Aldo untuk melanjutkan pekerjaannya.
“Maaf bu… ini petugas baru.. ia belum kenal.” jelas pengawas pada ibunya.
“Pak.. bapak kenal dengan ibu saya..? tanyanya bingung.
“Tak apa pak.. biarkan kami berdua.” Jawab ibunya.
Aldo bingung. kok bisa pengawas kenal dengan ibunya. Sepertinya ada hal
yang ia tak mengerti. Ada sesuatu yang jauh dari jangkauan pikirannya.
Belum ada kata yang keluar bibir ibunya. Tiba-tiba ibunya mengambil hp
dari tas cantiknya. Dan menelpon dengan seseorang. Ia bertambah bingung
melihat ibunya mempunyai hp.
“Yah..! Ibu di bawah.. Ibu lagi sama Aldo nih. Kita selesaikan saja ya pa..” ucap ibunya di ponsel.
Kepala Aldo menggunung dengan kebingungan.
“Ayah…? dan apa yang diselesaikan..?“ suara bingung hatinya.
Aldo bertambah kaget melihat semua karyawan berkumpul dan menatap sosok lelaki setengah baya yang baru keluar dari lift.
“Ayaaaah……?” Aldo kaget.
“Ia anakku.. ini ayah.” sambut ayahnya.
“Loh kok..” suara Aldo terhenti saat ayahnya memeluk dengan haru.
“Aldo anakku.. Ayah rindu padamu. Maafkan ayah ya… Ayah dan ibu terpaksa
melakukan semua rekayasa ini.” Ini semua demi masa depanmu. Dan demi
masa depan perusahaan ini, juga demi masa depan semua karyawan yang ada
disini.” Jelas ayahnya tenang.
Ia coba menebak apa yang terjadi. Ia lepaskan pelukan ayahnya dan
ditatapnya wajah ayah dan ibunya. Ibunya hanya mengangguk dan tersenyum
bangga. Ia lihat semua mata yang ada disitu tertuju pada mereka.
Termasuk Dina gadis pujaan hatinya.
“Ada apa ini yah… bu..? tanyanya heran bercampur haru.
“Nanti ayah jelaskan semuanya. Yang jelas ayah lihat, Aldo sekarang
sudah jauh berbeda dengan Aldo yang dulu. Ayah bangga padamu. Kamulah
satu-satunya harapan ayah untuk meneruskan perusahaan ini. Dan inilah
cara ayah dan ibu untuk menciptakan rasa tanggung jawabmu dan juga
merubah sifat manjamu.” Jelas ayahnya sambil memeluk Aldo kembali dengan
erat.
Akhirnya Aldo pun mengerti dengan semua ini. Yang ia rasakan saat itu
cuma perasaan bahagia yang meluap. Ia pun bergegas bersujud syukur pada
sang ilahi…
Senin, 09 April 2012
Sabtu, 07 April 2012
Aku Ingin Berjuang
Seorang pemuda belia dari
kabilah Aslam sedang termenung sendirian agaknya dia sedang sibuk
memikirkan sesuatu yang membebani hatinya. Pemuda itu bertubuh kuat,
gagah, penuh gairah untuk menghadapi masa depan yang penuh berbagai
tantangan. Badanya tegap dan kuat, sanggup untuk dihadapkan pada
perjuangan seperti yang sedang dilakukan oleh yang lain, jihad
fisabilillah. Adakah jalan yang lebih afdol dan lebih mulia dari jihad
fisabilillah..? Rasa-rasanya tak ada. Sebab itulah satu-satunya jalan
jika memang benar-benar telah menjadi tujuan dan niat suci untuk mencari
restu dn ridho Allah SWT. "Demi Allah, inilah satu kesempatan yang
sangat baik", kata hati pemuda itu. Yah,.....sebab disana, serombongan
kaum muslimin sedang bersiap menuju juang jihad fisabilillah. Sebagian
sudah berangkat, sebagian lagi baru datang, dan akan segera berangkat.
Semuanya menampakan wajah yang senang, pasrah, dan tenang dengan satu
iman yang mendalam. Wajah-wajah mereka membayangkan suatu keyakinan
penuh, bahwa sebelum ajal berpantang mati. Maut akan menimpa diman pun
kita berada. yakin bahwa umur itu satu. kapan kan sampai batasnya, hanya
Allah yang maha tahu. Bagaimana sebab dan kejadianya, takdir Allah lah
yang menentukan.
Maut,
adalah sesuatu yang tak dapat dihindari manusia. Dia pasti datang
menjemput manusia. Entah disaat manusia sedang duduk, diam di rumah,
atau mungkin berada dalam perlindungan benteng yang kokoh, mungkin pula
sedang bersembunyi ditempat persembunyiannya, di gua yang gelap, di
jalan raya yang ramai, ataukah di medan peperangan. Bahkan bukan
mustahil maut akan menjemput kala manusia sedang tidur, di atas temapt
tidurnya. Semua itu hanya Allah lah yang berkuasa, dan berkehendak
atasnya.
Menunggu
kedatangan maut memang masa-masa yang paling mendebarkan jiwa. Betapa
tidak? Hanya sendirilah yang dapat dibawa menghadap penguasa yang Esa
kelak. Medan juang fisabillah tersedia bagi mereka yang kuat. Penuh
keberanian dan keikhlasan mencari ridho Allah semata. Mereka yang
berjiwa suci ditengah-tengah tubuh yang perkasa. Angan-angan ikhlas yang
disertai hati yang bersih. Memang, saat itu keberanian telah menjiwai
setiap kalbu kaum muslimin. Panggilan dan dengungan untuk jihad
fisabilillah merupakan angan-angan dan tujuan harapan mereka. Mereka
yakin, dibalik hiruk-pikuknya peperangan Allah telah menjanjikan imbalan
yang setimpal baginya. Selain dengan itu dia dapat membersihkan jiwanya
dari berbagi noda. Baik itu berupa noda-noda aqidah, niat-niat jahat,
berbagi dosa perbuatan ataupun kekotoran muamalah yang lain. Pengorbanan
mereka yang mulia itu menunjukan kepribadian yang baik dan luhur. Semua
sesuai dengan ajaran agama yang murni. Pantas menjadi contoh dan
teladan, bahkan sebagai mercu suar yang menerangi dunia dan isi alam
semesta.
Itulah
renungan hati pemuda Aslam yang gagah itu. Sepenuh hati dia berkata
seolah kepada diri sendiri. "Harus ! harus dan mesti aku berbut sesuatu.
Jangan kemiskinan dan kefakiran ini menjadi hamabtan dan penghalang
mencapai tujuanku."
Mantap,
penuh keyakinan dan semangat yang tinggi pemuda tersebut ini
menggabungkan diri dengan pasukan kaum muslimin. Usia pemuda itu memang
masih belia, namun cara berfikir dan jiwanya cukup matang, kemauanya
keras, ketangksan dan kelincahan menjadi jaminan kegesitanya di medan
juang. Namun mengapa pemuda yang begitu bersemangat itu tak dapat ikut
serta dalam barisan pejuan? Seababnya hanya satu. Dia tidak mempunyai
bekal dan senjata apa-apa yang dapat dipakainya untuk berperang karena
kemiskinan dan kefakiranya. Sebab pikirnya, tidak mungkin untuk terjuan
ke medan perjuangan tanpa senjata apapun. Tanpa senjata dia tidak mampu
melakukan apapun. Bahkan dia tidak akan berfungsi apa-apa. Mungkin untuk
menyelamatkan diri saja, dia tidak mampu. Inilah yang menjadikan pemuda
itu berfikir panjang lebar. Otaknya bekerja keras agar hasratnya yang
besar berjuang dapat tercapai.
Setelah
tidak juga dicapainya pemecahan, dia pergi menghadap Rasulullah SAW.
Diceritakan semua keadaan dan penderitaan serta keinginannya yang besar.
Dia memang miskin, fakir dan menderita, namun dia tidk mengharapkan
apa-apa dari keikutsertaanya berjaung. Dikatakanya kepada Rasulullah
SAW, bahwa dia tidak meminta berbagai pendekatan duniawi kepada
Rasulullah; Dia hanya menginginkan bagaimana caranya agar dia dapat
masuk barisan pejuang fisabilillah. Mendengar hal demikian, Rasulullah
bertanya, setelah dengan cermat meneliti dan memandang pemuda tersebut:
"Hai pemuda, sebenarnya apa yang engkau katakan itu dan apa pula yang
engkau harapkan?".
"Saya
ingin berjuang, ya Rasulullah!" jawab pemuda itu. "Lalu apa yang
menghalangimu untuk melakukan itu", tanya Rasulullah SAW kemudian. "Saya
tidk mempunyai perbekalan apa-apa untuk persiapan perjaungan itu ya
Rasulullah", jawab pemuda tersebut terus terang. Alangkah tercengangnya
Rasulullah mendengar jawaban itu. Cermat diawasinya wajah pemuda
tersebut. Wajah yang berseri-seri, tanpa ragu dan penuh keberanian
menghadap maut, sementara disana banyak kaum munafikin yang hatinya
takut dan gentar apabila terdengar panggilan seruan untuk berjaung jihad
fisabilillah.
Demi
Allah! jauh benar perbedaan pemuda itu dengan para munafiqin di sana.
Kaum munafiqin yang dihinggapi rasa rendah diri, selalu mementingkan
diri-sendiri. Mereka tidak suka dan tidak mau memikul beban dan tanggung
jawab demi kebenaran yang hakiki. Kaum yang tidak senang hidup dalam
alam kedamaian dan ketentraman dlam ajaran agama yang benar. Mereka
lebih suka berada dalam hidup dan suasana kegelapan dan kekalutan.
Ibarat kuman-kuman kotor, yang hidupnya hanya untuk mengacau dan
menghancurkan apa saja. Celakalah mereka yang besar dan tegap badan
serta tubuhnya namun licik dan kerdil pikiran serta hatinya.
Kebanggaanlah
bagimu yang tepat hai pemuda! semogalah Allah banyak menciptakan
manusia-manusia sepertimu. Yang dapat menjadi generasi penerusmu. Yang
akan menjunjung tinggi kemulyaan Islam, budi pekerti yang mulia menuju
alam yang bahagia sejahtera lahir batin.
Benar,
kaum muslimin sangat memrlukan jiwa yang demikian. Jiwa yang besar
penuh keyakinan, dan juga keberanian yang mantap. Sepantasnya pemuda
seperti dari kabilah Aslam itu mendapat segala keperluan serta
keinginanya untuk melaksanakan hasrat cita-cita keinginan itu.
Rasulullah SAW akhirnya berkata kepada pemuda Aslam tersebut: "Pergilah
engkau kepada si Fulan! Dia yang sebenarnya sudah siap lengkap dengan
perlatan berperang tapi tidak jadi berangkat karena sakit. Nah pergilah
kepadanya dan mintalah perlengkapan yang ada padanya."
Pemuda
itu pun bergegas menemui orang yang ditunjukan Rasulullah SAW tadi.
Katanya kepada si Fulan: "Rasulullah SAW menyampaikan salam padamu juga
pesan. Beliau berpesan agar perlengkapan perang yang engkau miliki yang
tidak jadi engkau pakai pergi berperang agar diserahkan kepadaku." Orang
yang tidak jadi berperang itu penuh hormat menjalankan perintah
Rasulullah SAW sambil mengucapkan: "Selamat datang wahai utusan
Rasulullah! Saya hormati dan taati segala perintah Rasulullah SAW."
Segera
dia menyuruh istrinya untuk mengambil pakaian dan peralatan perang yang
tidak jadi dipakainya. Diserahkan semua itu pada pemuda kabilah Aslam.
Sambil mengucapkan terima kasih pemuda tersebut menerima perlengkapan
itu. Sebelum dia berangkat dan meninggalkan rumah itu, pemuda tersebut
sempat berucap: "Terima kasih sebesar-besarnya. Anda telah menghilangkan
seluruh duka dan keputusasaanku. Bagimu pahala Allah yang besar tiada
taranya. Terima kasih.........Terima kasih."
Pemuda
suku Aslam itu kemudian keluar dengan riang. Wajahnya bersinar gembira.
Dengan berlari-lari dia meningalkan rumah orang yang tidak jadi
berperang itu. Di tengah jalan pemuda tersebut bertemu dengan salah satu
temanya yang keheranan dan bengong. Tanyanya: "Hai, hendak kemana
engkau?", "Aku akan menuju janntul firdaus yang selebar langit dan
bumi", jawab pemuda itu dengan singkat dan tepat.
*sumber : http://www.pendongeng.com/kisah-teladan-islam/362-aku-ingin-berjuang.html
Antara Sabar dan Mengeluh
Pada zaman dahulu ada seorang yang bernama Abul
Hassan yang pergi haji di Baitul Haram. Diwaktu tawaf tiba-tiba ia
melihat seorang wanita yang bersinar dan berseri wajahnya.
"Demi Allah, belum pernah aku melihat wajah secantik dan secerah wanita itu,tidak lain kerana itu pasti kerana tidak pernah risau dan bersedih hati."
"Demi Allah, belum pernah aku melihat wajah secantik dan secerah wanita itu,tidak lain kerana itu pasti kerana tidak pernah risau dan bersedih hati."
Tiba-tiba
wanita itu mendengar ucapan Abul Hassan lalu ia bertanya, "Apakah
katamu hai saudaraku ? Demi Allah aku tetap terbelenggu oleh perasaan
dukacita dan luka hati kerana risau, dan seorang pun yang menyekutuinya
aku dalam hal ini."
Abu Hassan bertanya, "Bagaimana hal yang merisaukanmu?"
Wanita
itu menjawab, "Pada suatu hari ketika suamiku sedang menyembelih
kambing korban, dan pada aku mempunyai dua orang anak yang sudah boleh
bermain dan yang satu masih menyusu, dan ketika aku bangun untuk membuat
makanan, tiba-tiba anakku yang agak besar berkata pada adiknya, "Hai
adikku, sukakah aku tunjukkan padamu bagaimana ayah menyembelih kambing
?"
Jawab adiknya, "Baiklah kalau begitu ?"
Lalu
disuruh adiknya baring dan disembelihkannya leher adiknya itu. Kemudian
dia merasa ketakutan setelah melihat darah memancut keluar dan lari ke
bukit yang mana di sana ia dimakan oleh serigala, lalu ayahnya pergi
mencari anaknya itu sehingga mati kehausan dan ketika aku letakkan
bayiku untuk keluar mencari suamiku, tiba-tiba bayiku merangkak menuju
ke periuk yang berisi air panas, ditariknya periuk tersebut dan
tumpahlah air panas terkena ke badannya habis melecur kulit badannya.
Berita ini terdengar kepada anakku yang telah berkahwin dan tinggal di
daerah lain, maka ia jatuh pengsan hingga sampai menuju ajalnya. Dan
kini aku tinggal sebatang kara di antara mereka semua."
Lalu Abul Hassan bertanya, "Bagaimanakah kesabaranmu menghadapi semua musibah yang sangat hebat itu ?"
Wanita
itu menjawab, "Tiada seorang pun yang dapat membezakan antara sabar
dengan mengeluh melainkan ia menemukan di antara keduanya ada jalan yang
berzeda. Adapun sabar dengan memperbaiki yang lahir, maka hal itu baik
dan terpuji akibatnya. Dan adapun mengeluh, maka orangnya tidak mendapat
ganti yakni sia-sia belaka."
Demikianlah cerita
di atas, satu cerita yang dapat dijadikan tauladan di mana kesabaran
sangat digalakkan oleh agama dan harus dimiliki oleh setiap orang yang
mengaku beriman kepada Allah dalam setiap terkena musibah dan dugaan
dari Allah.
Kerana itu Rasulullah s.a.w bersabda dalam firman Allah dalam sebuah hadith Qudsi,:
" Tidak ada balasan bagi hamba-Ku yang Mukmin, jika Aku ambil kekasihnya dari ahli dunia kemudian ia sabar, melainkan syurga baginya."
Kerana itu Rasulullah s.a.w bersabda dalam firman Allah dalam sebuah hadith Qudsi,:
" Tidak ada balasan bagi hamba-Ku yang Mukmin, jika Aku ambil kekasihnya dari ahli dunia kemudian ia sabar, melainkan syurga baginya."
Begitu juga mengeluh. Perbuatan ini sangat
dikutuk oleh agama dan hukumnya haram. Kerana itu Rasulullah s.a.w
bersabda,: " Tiga macam daripada tanda kekafiran terhadap Allah, merobek
baju, mengeluh dan menghina nasab orang."
Dan
sabdanya pula, " Mengeluh itu termasuk kebiasaan Jahiliyyah, dan orang
yang mengeluh, jika ia mati sebelum taubat, maka Allah akan memotongnya
bagi pakaian dari wap api neraka." (Riwayat oleh Imam Majah)
Semoga kita dijadikan sebagai hamba Tuhan yang sabar dalam menghadapi segala musibah*sumber : http://www.pendongeng.com/kisah-teladan-islam/360-antara-sabar-dan-mengeluh.html
Sahabat Aneh
Pulang kampung setelah lima tahun di rantau menuntut ilmu, memberi
warna tersendiri dalam hati. Dengan mengantongi ijazah sarjana,
Diposkan oleh
M. Rizki Hidayatullah
Khairul Huda, Pulang kampung setelah lima tahun di rantau menuntut
ilmu, memberi warna tersendiri dalam hati. Dengan mengantongi ijazah
sarjana, aku melangkah tegap menuju bus yang akan membawaku ke Doro,
sebuah kota kecamatan kecil 20 km di sebelah selatan Pekalongan.
Bus Binatur yang kutumpangi berjalan lambat keluar terminal. Tidak
hanya sekali dua bus berhenti untuk menaik-turunkan penumpang. Bahkan
beberapa kali bus malah berjalan mundur, masuk ke jalan desa, menjemput
penumpang yang hampir terlewat.
Sampai di perempatan Karangdadap langit gelap. Sesaat kemudian
turun hujan. Kuedarkan pandang ke luar jendela. Lewat kaca bus yang
buram, kulihat butiran mutiara itu berlomba turun menjejak ke bumi.
Banyak rumah baru berdiri di sepanjang pundak jalan yang tidak seberapa
luas.
Sejam kemudian, tepat pukul 12.00 siang, bus sampai di depan Pasar
Doro. Di kota kecil ini tak ada terminal bus, yang ada hanyalah terminal
colt angkutan pedesaan. Itu pun tak seluruh colt masuk ke terminal.
Banyak di antaranya yang nge-tem di depan pasar sebelah barat, berbaur
jadi satu dengan bus yang akan datang.
"Masih seperti dulu," gumamku membatin, ketika melihat sebuah colt
jurusan Karanganyar berangkat. Ya, masih seperti dulu. Colt berangkat
dengan penumpang yang berjejal sesak. Dari belakang yang terlihat
jajaran orang bergelantungan rapat membentuk teralis menutupi bagian
belakang mobil. Dan kalau belum mendapat penumpang yang rapat seperti
itu, colt memang belum mau berangkat. Padahal itu sungguh membahayakan
keselamatan penumpang.
Aku menarik napas untuk melonggarkan dadaku yang sesak. Dengan
jilbabku yang bersih ini, aku pun akan berimpit seperti mereka. Berdesak
dengan orang, barang belanjaan, dan ayam. Sudah tercium olehku keringat
bercampur kubis busuk, tai ayam, dan aroma parfum yang tajam menusuk.
Seperti itulah kalau perjalanan kita lekas sampai, karena jumlah
angkutan di sini sangat terbatas.
Colt jurusan Lemahabang yang kutumpangi hampir penuh. Beruntung aku
mendapat tempat duduk di depan, di ruang kemudi. Meski sesak juga, tapi
tak separah seperti duduk di belakang. Lumayanlah. Tapi harap diingat,
mendapat tempat duduk di ruang sopir, harus berani membayar lebih,
karena lebih nyaman, maka ruang sopir ini banyak diperebutkan.
Calo sudah memintai ongkos para penumpang. Berarti colt sudah penuh dan siap berangkat. Aku bernapas lega.
Pak sopir masuk ruang kemudi, lalu menghidupkan mesin. Saat itu
melintas sebuah bayangan yang sudah sangat kukenal, di depan colt. Aku
masih mengingatnya dengan baik, itu adalah bayangan Silva, taman
sekampung, teman masa kecil, teman sepermainanku dulu. Kalau ia mau
pulang, kenapa tidak naik colt ini? Dorongan rasa kangen pada sahabat
telah mengalahkan kepentinganku untuk cepat-cepat sampai di rumah.
"Sebentar, Pak Sopir," pintaku pada sopir yang sudah memasukan
perseneling ke gigi satu. Lalu begitu saja aku turun dari mobil,
mengejar Silva.
Terdengar teriakan sopir di belakang, "Cepat, Dik!"
Sekilas aku menoleh seraya melambaikan tangan menyuruhnya pergi. Sopir maklum, colt itu pun berangkat.
Aku berhasil mengejar Silva. Kujajari langkahnya.
"Mau kemana?" tanyaku.
Silva menoleh, tersenyum. Wajah dan bibirnya tampak pucat, tapi kakinya melangkah ke arah timur.
"Mestinya kamu bersama saya naik colt yang tadi. Kamu sudah tahu
kan, selepas colt tadi belum tentu ada colt berikutnya yang bisa membawa
kita pulang? Sudah siang begini tak ada lagi orang berpergian. Anak
sekolah dan ibu-ibu yang belanja sudah pada pulang. Kita pertaruhkan
pada nasib baik untuk bisa pulang hari ini."
Silva tak berkomentar. Kucoba menggandeng tangannya. Dingin. "Kamu sakit? Mau periksa? Okelah, aku menemanimu."
Melewati sebuah jembatan kecil, Silva belok ke kiri.
"Lho, kalau mau periksa ke tempat dr. Lestari, beloknya ke kanan,
dong?!" protesku. Silva tak menanggapi protesku. Ia terus saja
melangkah.
"Baiklah, kuikuti kamu," kataku, menyerah. "Seandainya nanti tidak
mendapat colt pulang, toh ada kamu. Kita bisa pulang jalan kaki bersama.
Kami lewat di depan KUA. Ke utara sedikit, ada masjid di sisi barat
jalan, menghadap ke timur. Silva membelokkan langkahnya ke sana.
"Oh, kamu mengajakku salat dulu? Baiklah. Sekarang memang sudah
hampir jam satu," kataku, setelah melirik arloji di pergelangan
tanganku.
Aku mendahului Silva melepas sepatu, terus ke kamar kecil. Setelah
itu mengambil wudhu dan salat Zuhur lebih dahulu, karena Silva tak
tampak bayangannya. Kupikir ia sedang berada di kamar kecil.
Kemana sih, dia? Diikuti kok malah menghilang? gerutuku sendirian, sambil mengenakan sepatu bersiap meninggalkan masjid.
Aku kembali ke depan pasar mencari angkutan. Suatu kebetulan, ada
serombongan orang yang hendak berziarah ke makam Syeh Siti Jenar di
Lemahabang. Mereka mendapatkan colt dan aku mengikuti saja. Tampaknya
rombongan itu membayar lebih, sehingga tak usah menunggu penumpang
berdesak. Alhamdulillah.
Mobil yang kami tumpangi bergerak ke arah barat setengah kilo, lalu
berbelok ke selatan. Dan mulailah perjalanan yang penuh risiko. Karena
colt mesti melewati jalan berbatu tidak rata, dengan medan yang terus
menanjak. Badan colt bergerak seperti layaknya tubuh mentok. Merangkak
tertatih, megal-megol, oleng ke kiri dan ke kanan, kepalanya
mengangguk-angguk.
Setelah lepas empat puluh lima menit, colt yang sudah bergerak
pelan, terasa semakin memperlambat lajunya. Kami saling bertatapan. Ada
apa? Serentak kami arahkan pandangan ke depan. Ada sekerumunan orang
memenuhi jalan di depan. Colt berhenti. Kami turun untuk mencari tahu.
Ternyata ada colt jatuh ke jurang! Sebagian penumpangnya tewas,
sebagian yang lain luka-luka. Mereka sedang dievakuasi. Dan itu adalah
colt yang hendak kutumpangi tadi, tapi tidak jadi!
Aku tertunduk lemas. Tak henti-hentinya kusebut kebesaran nama-Nya.
Pandanganku yang kabur oleh airmata, menangkap tubuh-tubuh yang
berlumpur dan berlumur darah terkulai. Pecahan kaca yang berserakan.
Mobil yang ringsek. Wajah-wajah yang basah oleh airmata. Telingaku
menangkap raungan tangis tak beraturan dari mereka yang masih bisa
menagis. Allah Mahabesar.
"Dik, naik lagi. Kita teruskan perjalanan," kata sebuah suara.
Kuusap mataku dengan punggung tangan. Tanpa suara kuikuti laki-laki
yang berkata tadi. Lalu kami masuk kembali ke colt untuk meneruskan
perjalanan.
Begitu sampai di rumah, setengah berlari aku menuju ke rumah Silva.
Dia sendiri yang membukakan pintu. Serentak melihat bayangannya,
langsung kutubruk dan kupeluk ia. Tangisku pun tumpah di pundaknya.
Silva balas memeluk.
"Tenanglah...," bisiknya lembut dekat telingaku. Dipapahnya tubuhku
menuju ke kamarnya. Setelah meminum air putih pemberian Silva, aku
sedikit lebih tenang. Lalu kuceritakan semua kepadanya. Tentang
pertemuanku dengannya di depan pasar. Tentang salatku di masjid. Juga
tentang colt yang tak jadi kutumpangi dan ternyata mendapat
kecelakaan...
"Kuminta jawablah pertanyaanku dengan jujur. Di mana saja kamu seharian ini?"
"Seharian ini aku hanya di rumah, tidak pergi ke mana-mana.
Sungguh! Kalau tak percaya, tanya Ibu,"kata Silva, serius. "Sejak pagi
sampai menjelang Zuhur, aku di sawah bersama Ibu, matun padi. Pulang
dari sawah aku mampir ke pancuran, bersih-bersih sekalian ambil air
wudhu. Setelah salat dan makan, istirahat sambil membaca-baca. Lalu kamu
datang," jalas Silva runut.
"Aku percaya. Lantas, siapa gadis mirip kamu yang kutemukan di depan pasar?"
Kami saling berdiam diri, digayuti oleh pikiran masing-masing.
Dan aku percaya, Allah memang sengaja menyelamatkanku dengan
cara-Nya sendiri. Terima kasih, ya Allah, atas pertolongan-Mu. Tak
henti-hentinya kusebut nama-Nya.
Langganan:
Postingan (Atom)